PELAKU UKM. Gaya hidup saat ini yang kian praktis mendorong meningkatnya penggunaan kemasan pada produk makanan. Akibatnya, ketergantungan manusia pada kemasan dalam keseharian sangatlah tinggi. Salah satu jenis kemasan plastik yang sering digunakan adalah styrofoam yang berupa busa padat berwarna putih.
Awalnya styrofoam ini dikenal dengan nama polistirena yang digunakan sebagai bahan pelindung benturan pada produk-produk yang bersifat mudah pecah seperti produk elektronik ataupun produk pecah belah lainnya. Selain itu juga sebagai bahan insulasi karena dapat tahan dengan panas dan dingin dengan baik.
Kemampuan yang tahan terhadap suhu baik panas maupun dingin tersebut kemudian memunculkan ide untuk menggunakannya sebagai pembungkus makanan siap saji. Kelebihan lainnya adalah tidak mudah bocor dan berubah bentuk jika digunakan untuk menyimpan cairan. Selain itu juga mampu mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, harganya murah, serta bobotnya juga ringan. Semua itu mendorong penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan siap saji menjadi meningkat.
Namun di balik semua kelebihan tersebut, penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan ternyata menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia serta merusak lingkungan. Proses pembuatan styrofoam umumnya dilakukan dengan mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan butadiena. Untuk meningkatkan kelenturannya ditambahkan juga zat plastisizer seperti dioctyl phthalate (DOP), butil hidroksi toluen atau n-butilstearat. Campuran bahan tersebut kemudian ditiup dengan menggunakan blowing agent berupa gas kloroflurokarbon (CFC) hingga terbentuk foam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stirena berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia. Paparan stirena dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti kelelahan, sulit tidur, dan rasa gelisah. Selain itu gangguan terhadap darah berupa penurunan kadar hemoglobin hingga menyebabkan anemia, gangguan sitogenik (gangguan kromosom dan kelenjar limfa) serta efek karsinogenik. Penelitian lain juga menyatakan terjadi juga pengaruh terhadap ketidak seimbangan hormon yang menyebabkan terganggunya proses reproduksi.
Styrofoam sebenarnya tidak cocok untuk digunakan sebagai kemasan makanan atau minuman. Hal ini karena kemungkinan terjadinya migrasi bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam ke dalam makanan. Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar lemak suatu pangan, maka migrasinya juga semakin besar. Maka jika Anda sering membeli makanan panas yang dikemas dalam styrofoam berhati-hatilah. Ada peluang bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam larut dan menyatu dalam makanan yang Anda makan.
Selain berdampak negatif terhadap kesehatan, styrofoam juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan karena sifatnya yang tidak bisa diurai secara alami. Data dari Environment Protection Agency (EPA) menyebutkan bahwa limbah styrofoam ditetapkan sebagai limbah berbahaya kelima terbesar di dunia. Bau yang ditimbulkan saat proses pembuatannya saja mampu mengganggu pernapasan, dan melepaskan 57 zat berbhaya ke udara.
Kemasan styrofoam biasanya memang digunakan hanya dalam waktu singkat atau sekali pakai. Umumnya digunakan sebagai wadah makanan restoran siap saji. Namun ironisnya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa terurai secara alami, akibatnya bisa dibayangkan, akan menjadi tumpukan sampah dalam jumlah besar, dan bisa mencemari lingkungan. Membakar styrofoam juga sangat berbahaya, karena akan menghasilkan senyawa dioksin yang bersifat karsinogen.
Alternatif bahan pengemas
Mengingat besarnya dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan styrofoam maka para ahli berupaya mencari alternatif bahan pengemas lain yang lebih ramah lingkungan. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biofoam atau biodegradable foam adalah produk pertanian yang persediaannya melimpah.
Contohnya bahan baku yang mengandung pati dan selulosa. Selain merupakan bahan baku yang dapat diperbaharui, harganya juga murah.
Salah satu sumber pati yang produksinya cukup tinggidi Indonesia adalah tepung tapioka. Harganya juga lebih murah jika dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Tapioka memiliki kadar protein, lemak, serta amilosa yang rendah dari sumber pati lainnya. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Tapioka juga memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga menghasilkan pasta yang jernih bila dipanaskan pada jumlah air berlebih. Semua kelebihan tersebut membuat tapioka berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biofoam.
Pembuatan biofoam terdiri atas campuran pati, serat dan air kemudian dilanjutkan proses ekstrusi, untuk menghasilkan pelet. Selain itu, pembuatan biofoam juga dapat dilakukan dengan cara thermopressing. Teknologi ini menggunakan prinsip seperti pembuatan wafer, yakni adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu.
Kadar air yang tedapat pada adonan akan menguap, karena adanya panas yang kemudian berfungsi sebagai blowing agent. Selama proses pencetakan, uap air akan mendorong proses ekspansi dari adonan pati, hingga terbentuk biofoam sesuai dengan bentuk cetakan yang digunakan.
Karakteristik biofoam dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti komposisi bahan baku, terutama sumber pati serta kondisi proses pembuatannya. Komposisi bahan baku terdiri atas komposisi kimia, rasio amilosa/amilopektin dan ukuran partikel. Semua faktor tersebut akan berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pati, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam. Kondisi proses, baik suhu, tekanan, dan waktu proses thermopressing juga akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi dari bahan baku.
Biofoam yang terbuat hanya dari polimer alami (pati dan serat), umumnya memiliki sifat mekanis yang rendah. Untuk mengatasinya dapat ditambahkan dengan polimer sintetik. Sementara untuk meningkatkan sifat hidrofobik biofoam, dapat dilakukan dengan penambahan pati asetat maupun penambahan sizing agent. Biofoam ini memiliki keunggulan yaitu sifat hidrofobisitas dan sifat mekanis yang setara dengan styrofoam, serta memiliki kemampuan biodegradable yang lebih tinggi.
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pati sebagai bahan baku biofoam, seperti dngan melakukan modifikasi pati, menambahkan bahan hidrofobik, polimer sintesis maupun bahan aditif lainnya. Pengembangan terus dilakukan sebagai upaya untuk menyediakan produk kemasan alternatif, yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.
Tentunya diharapkan dapat menggantikan penggunaan styrofoam, khususnya sebagai wadah pangan sekali pakai. Apalagi bahan baku yang selama ini digunakan pada pembuatan styrofoam, yakni dari fraksi minyak bumi semakin menipis persediaannya.
Dari Noni Soraya, akademisi dan alumnus Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian IPB, untuk Harian Pikiran Rakyat
No comments:
Post a Comment