PELAKU UKM. Namanya Umar bin Abduk Aziz bin Marwan. Sejarah Islam mencatatkan namanya dengan tinta emas karena kegemilangannya memerangi keduafaan. Pada masa pemerintahannya yang hanya 2,5 tahun untuk mencapai kemakmuran rakyat dengan pesat. Saat itu, kemiskinan nyars tidak ditemui, hingga para amil zakat kesulitan mencari penerima zakat (mustahik). Negara mengalami surplus besar-besaran sehingga utang pribadi dan biaya pernikahan rakyat pun ditanggung oleh negara.
Keberhasilan Umar terletak pada kebijakannya dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Slain upaya efisiensi anggaran di kalangan pejabat, ia juga mereformasi sistem perpajakan dengan prinsip berkeadilan. Secara umum, beliau mengatasi krisis ekonomi melalui pengelolaan anggaran yang prima. Pemasukan negara dari sektor pajak, zakat, infak, sedekah dan lainnya berlangsung sangat optimal sehingga menumpuk surplus di baitul maal.
Kejayaan sang khalifah memang sangat berbanding terbalik dengan kondisi bangsa kita. Kemiskinan sangat mudah ditemui. Untuk wilayah Jawa Barat saja, Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret 2014, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 4.327.065 orang atau 9,44% dari total penduduk. Jumlah tersebut hanya berkurang 0,18% dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada September 2013 yang mencapai 4.375.172 orang.
Persoalan kemiskinan memang selalu menjadi isu yang tak pernah basi untuk diatasi persoalannya. Berbagai pihak berupaya dengan beragam cara untuk mengurai benang kusut persoalan kemiskinan secara gamblang. Salah satu pihak yang ikut berikhtiar mengurangi angka kemiskinan tersebut adalah lembaga amil zakat. Apalagi, pada 2012 berdasarkan hasil riset Baznas, diketahui bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp.217 triliun pertahun. Jadi memaksimalkan zakat ala sang khalifah sebagai pengentasan kemiskinan bukanlah utopia semata.
Pengamat ekonomi syariah Irfan Syauqi Beik yang melakukan riset tersebut mengemukakan bahwa pehitungan dari potensi zakat mall yang terdiri atas zakat penghasilan Rp.82 triliun, zakat perusahaan Rp.114 triliun, dan zakat tabungan Rp.17 triliun.
Direktur Sinergi Foundation Dompet Dhuafa, Hendi Suhendi mengatakan, dimulai sejak 2002 yang kemudian secara intensif dilakukan pada 2005, pihaknya telah serius menggarap program pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat, dengan mendorong masyarakat berusaha. Program tersebut disinergikan pula dengan bidang kesehatan dan pendidikan yang ternyata pada praktiknya juga memilikikorelasi yang kuat terhadap aspek pereknomian masyarakat.
Hendi menuturkan pada tahun 2013 total dana yang berhasil dihimpun lembaganya yang terdiri dari zakat, infak dan sedekah mencapai Rp.11 miliar. Dari dana tersebut, sekitar 40% di antaranya digulirkan untuk bantuan ekonomi.
Menurut dia, sejak 2009 lembaga tersebut telah menyalurkan bantuan ekonomi, di antaranya kepada 1.541 bantuan individu yang mayoritas didominasi oleh usaha perdagangan, kemudian kerajinan, pelatihan menjahit, dan bantuan peternakan kepada 441 kelompok usaha. Nilai bantuan yang diberikan berkisar diangka Rp.1 juta bagi bantuan individu dan Rp.5 juta/orang untuk bantuan kelompok.
Dipaparkan bahwa lembaganya setiap hari menerima 20-30 pengajuan bantuan ekonomi. Jumlah pengajuan itu akan berlipat ganda hingga mencapai 70 pengajuan usaha/hari saat Ramadhan. Jumlah tersebut setiap tahun terus meningkat.
Dari total bantuan yang telah disalurkan, Hendi mengakui, hingga saat ini capaian harapan dengan digulirkannya bantuan tersebut untuk mengingkatkan kesejahteraan masyarakat masih jauh. Secara persentase, tak lebih dari 15% mustahiq yang berhasil meningkatkan taraf hidupnya setelah menerima bantuan tersebut. Indikatornya adalah pendapatan yang diterima meningkat 30% dari sebelumnya. Artinya, sisanya masih belum dapat beranjak dari kondisi kehidupannya.
Masih minimnya angka keberhasilan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Utamanya persoalan mental dan pola pikir masyarakat. Sementara itu hambatan modal dan pemasaran bukanlah hal yang utama.
Dicontohkan juga pada satu waktu lembaganya menyetujui pengajuan bantuan modal seorang pengemis yang ingin berwirausaha berjualan mie ayam. Tak hanya modal uang, pengemis itu juga menerima modal kerja berupa gerobak dan perlengkapan lainnya. Namun ternyata usaha tersebut hanya bertahan selama dua bulan saja. Alasannya, pendapatan yang diperoleh dengan berjualan ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan menjadi pengemis.
Memang masyarakat saat ini cenderung konsumtif. Kerapkali mereka tidak mampu menahan dorongan untuk menikmati hasil secara cepat, dibandingkan dengan menyisihkannya untuk mengembangkan usaha dan menabung. Hal itu diperoleh setelah petugas Dompet Dhuafa terlibat intensif dengan tinggal bersama salah satu kelompok masyarakat yang hingga kini saat ini belum juga beranjak dari garis kemiskinan selama dua tahun.
Hendi mengakui, pihaknya selalu berupaya secara maksimal memberdayakan kaum dhuafa melalui peningkatan taraf kesejahteraan. Namun upayanya tersebut akan selalu menemui kendala besar seperti perilaku, pola pikir, dan mentalitas. Untuk mengubah kebiasaan tersebut baginya tidaklah mudah karena telah berlangsung sejak lama akibat kesalahan kebijakan yang struktural. Maka, dibutuhkan kebijakan pula untuk menangkalnya dan tidak bisa diatasi sendiri-sendiri.
Semoga bisa mengispirasi.. :)
No comments:
Post a Comment